Oleh Dra. Irianty Bandu, M.M.
Staf Pengajar Departemen Sastra Prancis Universitas Hasanuddin, Makassar
NEGARA-negara Eropa daratan saat ini mengalami suatu krisis sosial yang disebabkan oleh banyaknya jumlah imigran yang masuk ke negara mereka. Kota-kota besar di beberapa negara tersebut secara komposisi jumlah penduduk imigran sudah melebihi warga yang menyebut diri mereka penduduk asli.
Hal tersebut memicu menguatnya kelompok-kelompok politik ekstrem kanan yang memiliki orientasi ‘pemurnian’ masyarakat dengan cara meminta politik repatriasi atau imigran yang ada di negara mereka dikembalikan ke negara asal demikian pula meminta agar pintu perbatasan negara diperketat.
Salah satu negara yang secara nyata mengalami hal tersebut adalah Prancis. Sudah sejak lama Prancis menjadi destinasi yang menjadi favorit para imigran. Berdasarkan statistik negara bahwa pada tahun 2020, jumlah penduduk Prancis yang terdiri atas 67 juta orang, terdapat 6,8 juta orang yang setara dengan 10 persen penduduk terdiri atas pendatang. Bahkan 2,5 juta orang tidak lagi berstatus imigran karena telah menjadi warga negara. Mereka itulah yang disebut orang Prancis keturunan.
Dari tahun ke tahun, jumlahnya semakin meningkat sehingga menimbulkan satu kegelisahan tersendiri bagi masyarakat Prancis yang mengeklaim sebagai ‘Prancis asli’.
Bagaimana tidak, pada tahun 1975 secara kuantitatif imigran hanya mengonstitusi 7,5 persen penduduk asli, meningkat jika dibandingkan tahun 1946 yang hanya berjumlah 4,4 persen. Tren semakin meningkatnya jumlah imigran yang hidup di negara Napoleon tersebut memunculkan kekhawatiran bagi orang Prancis “asli” dengan alasan yang beragam.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang Prancis “asli” menunjukkan sikap dan pandangan yang berbeda-beda terhadap para imigran. Asal-usul negara yang dianggap terkait dengan budaya para imigran dianggap merepresentasikan sifat dan sikap tertentu.
Stigma dan stereotip ikut membentuk sikap mereka. Dalam hal ini orang-orang yang berasal dari Afrika Utara seperti Aljazair dan Maroko mendapat stigma tertentu yang berkonotasi kurang baik sementara imigran dari benua Eropa sendiri dipersepsikan sebagai imigran yang baik.
Terlihat unsur-unsur subjektif turut bermain sebab jika bicara kriminalitas tak sedikit imigran asal Eropa Timur yang terlibat dalam aksi kejahatan seperti pencurian.
Pandangan yang buruk terhadap imigran asal Afrika Utara umumnya disebabkan anggapan adanya kegagalan dalam hal integrasi. Untuk diketahui model integrasi yang diterapkan di Prancis dapat dikatakan berciri “model integrasi-asimilasi” yakni politik negara meminta para pendatang untuk meninggalkan tradisi asal mereka dan berasimilasi dengan kebiasaan orang Prancis.
Terutama jika menyangkut ekspresi budaya dan juga agama di ruang publik seperti sekolah dan kantor-kantor pemerintahan. Hal ini dijadikan model ideal karena sekularisme ala Prancis ini pernah berhasil meminggirkan tradisi agama Katolik di ruang publik pasca konflik berlatar agama yang berlangsung panjang di Abad Pertengahan.
Pengalaman yang sama hendak diterapkan kepada imigran asal Afrika Utara yang budaya dan tradisi yang terkait agama Islam. Meskipun demikian pada dasarnya masyarakat diperbolehkan bahkan diberi kebebasan mempraktikkan kebudayaan mereka tetapi terbatas di wilayah privat.
Hal tersebutlah misalnya yang menjadi polemik soal praktik dan larangan beragama di ruang publik yang menurut sebagian kalangan politik tersebut bertentangan dengan prinsip penerapan hak asasi manusia terkait kebebasan beragama. Hal yang terakhir inilah yang dewasa sering menjadi perdebatan bahkan menimbulkan kekerasan di Prancis.
Pengaruh prinsip republikanisme Prancis pasca revolusi di akhir Abad XIX yang melahirkan prinsip hukum pemisahan kekuasaan gereja dari negara pada tahun 1905, dikenal dengan prinsip laïcité menjadi fondasi kenegaraan Prancis hingga hari ini.
Hal ini menjadi prinsip dasar bagaimana mengatur hubungan Agama dan Negara, bagaimana ekspresi keagamaan mendapatkan kebebasan di ruang privat-komunal tapi mendapat pembatasan di ruang publik. Prinsip ini menjadi tantangan integrasi penuh bagi orang Prancis yang beragama Islam umumnya yang merupakan imigran.
Jikalau kita perhatikan masalahnya, muncul satu pertanyaan soal akar masalahnya. Apakah masalahnya karena imigran tidak mampu melakukan integrasi karena sangat ketat mempertahankan identitas budaya mereka ataukah sebenarnya sikap-sikap tersebut muncul karena adanya kesenjangan hidup.
Orang yang hidup marginal secara ekonomi memiliki kecenderungan psikologis untuk resisten terhadap segala sesuatu yang dianggap menjadi penyebab kondisi mereka.
Sumber Foto: Irianty Bandu