Penulis: Abdul Wahab Dai
Jusriani, S.Tr.Keb. --nama lengkapnya kini-- tiada pernah menyangka pulang ke kampung halamannya melakoni tugas mulia sebagai bidan desa. Pegawai kontrak daerah kelahiran Pattirolokka, 7 Januari 1992 ini kini menekuri profesi sebagai bidan desa di desa kelahirannya Desa Pattirolokka, Kecamatan Keera, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Padahal sebelum balik kampung, Jus (demikian sapaan akrabnya) pernah merantau dan bekerja di "negeri orang", tepatnya di sebuah praktik dokter kandungan di Luwu Timur sebagai asisten dokter (2014-2016). Pada tahun 2016 Jus memutuskan pulang ke Pattirolokka dan menekuri aktivitas sebagai bidan di Puskesmas Keera sebagai pegawai tidak tetap atau honorer.
Lowongnya posisi Bidan Desa Pattirolokka pada tahun 2020 yang ditinggalkan oleh bidan sebelumnya menakdirkan Jus dengan penugasan baru sebagai bidan desa melanjutkan perjuangan membawa desa kelahirannya Pattirolokka sebagai desa yang sehat. Kini Jus berstatus sebagai pegawai kontrak daerah sejak 2023.
Kala itu jalan-jalan desa masih buruk tinimbang dewasa ini yang sudah "lebih baik". Jus gamang dengan serangkaian onak dan duri yang harus dihadapinya. Jalan antardusun yakni Dusun Pattirolokka dan Dusun Langkenna yang sangat berjauhan menjadi aral pertama yang dihadapinya.
Kedua dusun ini dihubungkan oleh jalan tani yang pada awalnya masih berupa jalan setapak pematang sawah. "Bayangkan kalau musim hujan, saya pernah tersungkur dengan motor yang saya kendarai saat berkunjung ke Langkenna untuk pelayanan posyandu," ujarnya mengenang saat ditemui di Kantor Desa Pattirolokka beberapa waktu yang lalu.
Jus juga harus berjibaku dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang masih tak menerima layanan-layanan posyandu seperti suntik vaksin. "Saya mendapatkan sasaran-sasaran yang kental dengan adat dan melarang keras anaknya ke posyandu," Jus melanjutkan ceritanya. Sasaran yang dimaksudnya adalah sasaran layanan posyandu yakni balita termasuk ibu hamil.
Jus yang mendaku sebagai orang yang cuek dan hanya memikirkan diri-sendiri tetiba harus beradaptasi dengan sikap ingin tahun (kepo) yang tinggi dengan kehidupan masyarakat. Data jumlah kasus tengkes (Inggris: stunting) yang selalu tinggi, bahkan pernah menjadi lokus penanganan tengkes oleh Pemerintah, Jus merasa dirinya punya tanggung jawab penuh sebagai warga asli Pattirolokka.
"Saya bertanggung jawab bagaimana harus menjadikan warga sehat, pintar, dan bernilai," ujar lirih. "Saya bukan bidan yang hanya numpang ditugaskan tapi saya asli generasi Pattirolokka. "Dirinya mendaku tak pernah membayangkan bekerja di desa dan berjalan di atas lumpur. Kontras dengan ekspektasinya masa kuliah suatu ketika dirinya bekerja di sebuah ruang berpendingin dengan sepatu hak tinggi.
***
Waktu berlalu, Jusriani yang pada masa kecilnya bersekolah TK, SD, dan SMP di Siwa (Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan) ini perlahan mulai memahami karakter masyarakat Pattirolokka. Jusriani sebelumnya melanjutkan pendidikan menengah atas di Keera dan berkuliah di Makassar.
Mentalnya mulai terbentuk menghadapi masyarakat. "Sepedas apa pun kata-kata pasien manakala mereka mungkin kecewa dengan diri saya, saya selalu menanamkan dalam diri saya bahwasanya saya tak boleh selalu baper."
"Saya wanita mandiri yang tak boleh cengeng," ujarnya sambil mengenang ibunya yang telah meninggalkannya sejak kecil. Ibundanya telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Keluar masuk lorong desa sudah menjadi takdirnya. Mendatangi sasaran posyandu yang malas datang ke posyandu harus dilakoninya. Jusriani juga aktif sebagai kader di Yayasan Masyarakat Peduli Tuberkulosis (TB) sejak tahun 2018.
Jusriani menutup perbincangan dengan penulis dengan harapan besar agar masyarakat Desa Pattirolokka dapat memahami tugasnya sebagai bidan desa yang berikhtiar menyehatkan desanya.
"Kalau masyarakat tidak menyadari bahwa gedung posyandu yang dibangun oleh Pemerintah Desa untuk masyarakat dan tidak dimanfaatkan dengan baik oleh mereka, peningkatan derajat kesehatan masyarakat tentu lah melambat," kuncinya.
Foto: Koleksi Pribadi Jusriani