Laporan Abdul Wahab Dai
Pengantar:
Pedagang Pasar Siwa menyebutnya sebagai SK. Pekan ini mereka menerima Surat Izin Pemakaian Tempat (SIPT) Kios. Mereka akhirnya tidak menunggu Godot.
Terbakar 21 Mei 2002, dua puluh tahun silam, pedagang Pasar Siwa baru menerima apa yang mereka sebut sebagai SK Ruko atau SK Kios pekan ini. Terutama ruko empat sisi Pasar Siwa. Nomenklatur di SIPT menyebutnya sebagai kios, meski pada kenyataannya adalah ruko (rumah toko).
Ini mungkin alasan utama sampai mereka harus menyembelih seekor sapi. Dua dekade sebuah penantian panjang dengan segala perdebatan, polemik, hubungan yang renggang antarsesama, antara mereka dengan pemerintahnya.
Satu kesyukuran besar mereka bisa menerima SK Ruko atau Kios pekan ini. Dua dasawarsa (2002-2022) yang penuh kisruh, kesedihan, kekecewaan, aksi demonstrasi dan unjuk rasa, serta janji bersama harapan. Bahkan dirasuki politik. Kini kasus Pasar Siwa sepertinya akan ditutup.
Ditutup dengan santap daging mewah, santap daging sapi bareng di arena Sensasi Kuliner Siwa (SCS).
***
Melintasi lima bupati, tiga pengembang, dua dasawarsa, aksi protes, ketegangan, dan pelbagai gonjang-ganjing.
Api melahap pasar ini pada hari Selasa, 21 Mei 2002, dua puluh tahun yang lampau. Kegoncangan hidup terjadi bagi ratusan pedagang ritel.
Isu gelombang eksodus pedagang ke luar Wajo menyeruak. Banyak yang tidak bisa bertahan lagi dengan keadaan.
Kisah mangkrak pembangunan Pasar Siwa berawal ketika pada tanggal 26 Juli 2004 pengembang meminta persekot tiga puluh persen kepada pedagang yang finansialnya masih labil dan morat-marit.
Mereka pun menutup Pasar Darurat sehari dan berbondong-bondong mengepung Gedung DPRD Wajo meminta jalan keluar.
Konsep semi-mol yang ditawarkan oleh pengembang kala itu memang banyak ditolak, bahkan disebut-sebut Pasar Siwa dibangun dengan tangga berjalan bak di kota besar, padahal masih banyak pengecer bakulan bermodal "teri".
Lapak pasar darurat yang dibangun membuat pedagang terhimpit oleh pengeluaran yang besar.
Sepinya omset di Pasar Darurat di tiga jalan yang agak jauh dari lokasi pasar yang terbakar membuat pedagang merangsek keluar mengelilingi lokasi awal pasar yang terbakar.
Saat itu tanggal 19 Agustus 2005, kocek pedagang kembali ludes ketika harus membangun lapak baru.
Tahun 2015, mereka harus menguras pundi-pundi mereka lagi ketika jalan seputar empat sisi Pasar harus dirabat beton. Mereka harus menggeser lapak darurat mereka menepi ke bangunan Pasar yang mangkrak.
Setelah ganti pengembang, Desember 2017, pembangunan kembali Pasar Siwa rampung. Pembagian lods dan kios pun dilakukan, walau ruko belum selesai dibangun.
Setelah undian pembagian lods dan kios, pedagang harus membiayai lagi renovasi tempat usaha mereka agar lebih baik dan layak. Misalnya mereka harus memasang pintu yang lebih kuat biar aman dari pencurian.
Pengembang ketiga menuntaskan bangunan ruko di sekeliling Pasar. Pembagian ruko pun dilakukan pada tanggal 27 April 2019.
Sepanjang dua dasawarsa terjadi dinamika yang luar biasa. Penulis bisa mencatat pelbagai hal yang membuat Pasar ini selalu dirundung problema.
Misalnya munculnya "pedagang baru" bukan korban kebakaran yang turut berebut kios dan lods saat pengundian yang menyingkirkan banyak korban kebakaran.
Ini berawal dari pembangunan Pasar Darurat yang memunculkan pedagang baru yang akhirnya turut meminta lods dan kios di Pasar Siwa yang baru.
Pada setiap perhelatan politik selalu saja Pasar Siwa dipolitisasi. Selalu saja ada harapan dan janji, bahkan tekanan dari penguasa.
Catatan lainnya adalah kekecewaan banyak korban kebakaran yang mendapatkan lods atau kios yang "tidak strategis" dibandingkan dengan tempat mereka sebelum Pasar terbakar.
Malah yang mendapat tempat strategis terkadang pedagang yang dulu tempatnya tidak strategis. Bahkan yang merisaukan adalah mereka yang bukan korban kebakaran yang justru mendapat tempat strategis.
Kisruh kembali muncul saat pembagian ruko! Beberapa kali pedagang harus menemui legislator atau eksekutif.
Sepanjang dua puluh tahun ini Pasar ini selalu dirasuki politik. "Barang siapa yang tidak mencoblos calon nomor sekian, tidak akan mendapat lods di Pasar Siwa," ujaran ini saya dengar langsung pada sebuah kampanye pemilihan.
Kekecewaan, kesedihan, dan percekcokan yang melibatkan baik di antara sesama pedagang maupun pedagang dengan penguasa kerap terjadi.
Inilah alasan-alasan mengapa mereka harus urunan membeli seekor sapi, menjagalnya dan menyantapnya secara bersama-sama. Pekan ini gelombang terakhir Surat Izin Pemakaian Tempat (SIPT) bagi ruko-ruko sisi Pasar diberikan. Sebuah penantian panjang dua setengah windu.*
Tasyakuran kelar, bukan berarti perkara tuntas. Setiap saat memang kita harus bersyukur.
Pasar ini masih menghadapi dua perkara besar: okupasi pedagang kaki lima di empat jalan sisi Pasar dan sindroma Lantai II yang sepi pedagang dan pembeli.