“Sebaiknya cegah sikap atau tutur kata yang mengagungkan nilai-nilai Barat (west-is-best syndrome) dalam berkomunikasi dengan orang Rusia.” (Nanang S Fadillah: 2001).
***
September 1997, selepas menyusur Pasar Tenabang yang mahaluas dan membeli belah beberapa bal barang untuk diniagakan kembali di Makassar dan Wajo, saya keluyuran ke pasar loak buku bekas di Pasar Senen.
Beberapa eksemplar buku bekas supermurah saya tenteng pulang ke Kalibaru-Cilincing, termasuk dua keping buku pelajaran bahasa Rusia. “Bahasa Rusia Kursus Permulaan”, sebuah buku tua yang menyempil di pojok lapak seorang pedagang menarik perhatian saya.
Buku pelajaran bahasa Rusia karangan Nina Potapova yang diterbitkan oleh Badan Penerbit Buku-Buku Bahasa Asing ini bertarikh 1959 dan terbit di Moskou (ejaan lama, sebagai mana yang tertulis pada halaman kedua setelah sampul).
Dilengkapi huruf-huruf Sirilik dan cara melafalkannya serta berpengantar bahasa Indonesia, sepertinya masih menggunakan ejaan Soewandi. Kala itu Uni Soviet dengan negeri Rusia sebagai pilar utama sedang kuat-kuatnya. Buku pelajaran bahasa Rusia ini pun berkonteks Uni Soviet sosialis, sehingga kosakata yang diajarkan tentu erat dengan situasi sosio-ekonomi kala itu.
Ada pula buku “Russian Through Pictures Book I” (Bahasa Rusia Bergambar Jilid I), sebuah buku pelajaran bahasa Rusia tingkat pemula. Bagi pengguna aksara Latin seperti kita, aksara-aksara Sirilik yang digunakan oleh rumpun bahasa Slav ini benar-benar asing dan “aneh”!
Ini sudut pandang saya saja sebagai orang asing dari perspektif luar Rusia. Sebuah tantangan tersendiri untuk memahaminya dan mempelajarinya. Buku ini terbit di New York oleh beberapa penyunting pada penerbit Washington Square Press, Inc, Amerika Serikat, negeri “musuh abadi” Rusia.
Di negeri kita, hanya ada dua kampus yang menyelenggarakan ilmu bahasa dan susastera Rusia. Adanya di Depok dan Bandung dan kerap disebut jurusan Sastra Slavia.
Pada tahun 1996 saya menyempatkan diri bertandang ke kampus ini dalam kaitan dengan sebuah acara forum mahasiswa Studi Prancis nasional (jurusan yang saya pilih di Makassar) kala itu dan menemukan jurusan Sastra Slavia (Rusia) hanya diajarkan di kedua kampus ini. Rumpun bahasa Roman (seperti Prancis) dan bahasa Slavia adalah dua rumpun bahasa yang berbeda.
***
Menurut buku “Jalan-Jalan ke Rusia: Buku Percakapan Rusia-Indonesia” gubahan Nanang S. Faradillah yang terbit di Bekasi oleh Kesaint Blanc tahun 2001, disebutkan bahwa,”Orang Rusia sangat kritis pada negara dan pemerintahannya. Namun sangat dianjurkan untuk bersikap sopan dengan tidak memberi komentar negatif tentang Rusia, karena jauh di lubuk hatinya, orang Rusia sangat patriotik.
Sebaiknya cegah sikap atau tutur kata yang mengangungkan nilai-nilai Barat (west-is-best syndrome) dalam berkomunikasi dengan orang Rusia.
***
Demikianlah, ketika tulisan ini disusun sudah sepuluhan hari balatentara Rusia menginvasi Ukraina. Jauhhari sebelumnya dalam hitungan puluhan tahun, Barat dalam pengertian ideologi liberalisme, kapitalisme dan demokrasi yang diusung oleh Amerika Serikat “berhadap-hadapan” dengan Timur yang sosialis dengan Uni Soviet sebagai dedengkotnya.
Aliansi militer Pakta Warsawa pimpinan Uni Soviet dibentuk pada tahun 1955 yang kerap disebut Blok Timur merupakan antitesa dari aliansi militer Atlantik bagian utara (NATO) yang kerap digelari Blok Barat.
“Hidup dalam Kebebasan: Kegembiraan dan Derita Kota Praha di Musim Semi Kedua”, buku besutan Mark Sommer (1994) versi bahasa Indonesia dengan penerjemah Caniyus Marun ini berceritera tentang transformasi sosial Eropa Timur yang dahulu di bawah orbit Uni Soviet (baca: Rusia) “mencari-cari bentuk dan isi pembaharuan politik dan ekonomi” sebagaimana ditulis Juwono Sudarsono dalam Kata Pengantar buku dengan judul asli “Living in Freedom: the Exhilaration and Anguish of Prague’s Second Spring ini”.
Sudarsono menyebut Rusia sebagai ahli waris utama Uni Soviet yang pengaruhnya melanda negeri-negeri Eropa Timur (sehingga disebut Blok Timur). Pergolakan di negeri-negeri bekas pengaruh Soviet ada yang keras ada yang lembut. Pergolakan di negeri Cekoslowakia yang pecah menjadi negara Republik Cek dan negara Slovakia berlangsung dengan sedikit korban (Sudarsono dalam Sommer: 1994) sehingga disebut Revolusi Beludru.
Glasnots dan Perestroika (Keterbukaan dan Rekonstruksi) kerap pula disebut memicu runtuhnya Komunisme Soviet. Hingga akhirnya bekas negeri-negeri Soviet memilih jalan sendiri dan menjadi negeri merdeka seperti Armenia, Lituania, Molodva termasuk Rusia (15 negara) yang kemudian menjadi Persemakmuran Negeri-Negeri Merdeka (CIS).
Dahulu Uni Soviet memimpin Blok Timur dengan beberapa negara sosialis Eropa Timur sebagai orbitnya seberti Polandia, Rumania dan Jerman Timur serta negara-negara lainnya. Sebuah wilayah pengaruh yang sangat luas.
Blok ini berhadap-hadapan dengan Blok Barat dan Sekutu Barat-nya seperti Inggris, Prancis dan Amerika Serikat. Setelah runtuhnya Soviet sosialis, pakta pertahanan Atlantik Utara memperluas pengaruh dan mengambil alih bekas orbit Soviet (Rusia) hingga selusin negara. Akun Suara Jerman (Deutche Welle) dalam unggahannya pada tanggal 28 Maret 2014 dengan judul “Sejarah Perluasan NATO ke Eropa Timur” menulis dengan kalimat “Kalangan politik dan sebagian besar sampai saat ini masih khawatir negaranya dikepung Barat.”
***
Kini Rusia menjadi tentara penginvasi (the invaders) di tanah Ukraina. Dahulu kala Ukrania adalah bekas wilayah Uni Soviet bersama dengan Rusia. Media-media daring arus utama Eropa senantiasa menyebut ketakutan Rusia jika pangkalan militer digelar di Ukraina di halaman depan Rusia dengan penguasa Ukraina yang pro-Barat.
“No military bases in ex-Soviet countries, Russia tells West” (Rusia memberitahu Barat: tidak boleh ada pangkalan militer di bekas Soviet), demikian judul berita daring pada utas Twitter Reuters World 5 Maret 2022 kemarin.
“L’Occident nous écoute mais ne nous entend pas,” kata Sergei Lavrov, Menteri Luar Negeri Rusia yang kira-kira berarti “Barat mendengarkan kami, akan tetapi tiada memahami kami.” Sebagaimana ditayangkan siaran TV Euronews versi bahasa Prancis pekan lalu.
Rusia dan Slavia adalah entitas kawasan dengan akar budayanya yang kuat. Kosakata seperti nazifikasi (pe-Nazi-an) Ukraina muncul di beberapa media Rusia sehingga mereka menggelar serangan untuk mencapai “denazifikasi”. Invasi terkini disebut sebagai usaha “demiliterisasi” Ukraina yang sangat dekat dengan Rusia dan pernah menjadi wilayah Soviet.
Akun daring surat kabar berbahasa Inggris yang terbit di Moskow The Moscow Times menyebut “Russia Says Invasion to Free Ukrainians From Oppression” (Rusia Sebut Invasi Dilakukan bagi Membebaskan Orang Ukraina dari Penindasan”. The Moscow Times dikenal sebagai media independen di Rusia, bahkan menayangkan aksi antiperang di Moskow.
***
Tulisan ini kita tutup dengan megajak sidang pembaca mendengarkan lantunan lagu Wind of Change (Angin Perubahan) dari grup metal Scorpions di Jerman yang dilansir pasca runtuhnya Tembok Berlin, salah satu penanda runtuhnya Soviet. Lirik “I follow the Moskva” (Kususuri sungai Moskva) menjadi intro lagu.
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa lagu ini berkisah tentang kolapsnya sosialisme Soviet dan tentu diikuti transformasi sosial di bekas wilayah pengaruh Soviet. Ukraina pun bergolak dengan penguasa yang kini pro-Barat yang sebelumnya masih pro-Rusia. Rusia memang memiliki dunianya sendiri yang harus dipahami oleh Barat. Rusia sangat tersinggung jika pangkalan militer Barat harus hadir di halaman depan rumahnya.
Abdul Wahab Dai, alumnus Jurusan Sastra Barat Roman, Universitas Hasanuddin.