Oleh: Abdul Wahab Dai
kareba-celebes.com
WAJO-Jumat-Sabtu, 23-24 Juli 2021, dua asesor dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) Drs. H. Bodding, M.Si dan H. Abidin Raukas, S.Pd., M.Si melakukan visitasi ke Sekolah Luar Biasa (SLB) Mirah Edukasi Wajo di Pertigaan Menuju Buloawo, Jalan Poros Makassar-Palopo Km. 275, Kelurahan Benteng, Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan sebagai tahapan dari akreditasi sekolah yang baru beranjak tahun keempat ini.
***
Pancasila sebagai dasar negara dengan sila "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" adalah sebuah prinsip dan penyemangat mencapai keadilan itu sendiri.
Di Prancis sana ada semboyan negara: Liberté, Égalité, Fraternité (Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan).
Keadilan sosial dan kesetaraan adalah nilai-nilai kemanusiaan global yang menjadi prinsip universal kita.
Para kaum penyandang disabilitas adalah warga bumi (earthlings) dan warga negara yang mempunyai hak yang sama dengan kita yang normal untuk menerima perlakuan yang adil dan setara dari negara.
Demikianlah, SLB Mirah di Benteng Pitumpanua yang mendidik para penyandang disabilitas, meski berstatus sekolah swasta, adalah wujud dari pengejawantahan kesetaran dan keadilan sosial yang dicita-citakan itu.
Meski kadar keadilan dan kesetaraan sosial itu tak pernah berhenti diperdebatkan. Setidaknya telah tampak banyak usaha oleh para elit negara dan warga negara ke arah keadilan dan kesetaraan sebagai sesuatu yang ideal.
Keadilan memang sulit ditakar. Kembali kepada sudut pandang masing-masing.
***
Dengan peserta didik berkebutuhan khusus (seperti tuna grahita, tuna rungu, pengidap autis), tentu guru yang mengajar di sebuah SLB, bukankan "guru biasa".
Nurftimazam, S.Pd., salah seorang guru di SLB Mirah mengungkap suka dan duka yang dialaminya selama mengajar anak-anak berkebutuhan khusus.
"Selama mengajar di sini saya banyak menemukan ilmu yang belum pernah saya dapat di jenjang perkuliahan. Saya harus menghadapi berbagai macam karakter siswa berkebutuhan khusus dengan keunikannya masing-masing," tuturnya memulai.
Lanjutnya, mengajar di sekolah luar biasa itu seorang guru harus senantiasa bersabar menghadapi keadaan siswa. "Kadang-kadang mereka tidak bisa dikendalikan. Belum lagi ketika siswa tidak 'mood' untuk belajar."
Nurwahidah, S.Pd, guru lainnya, mengungkapkan kepada penulis pengalamannya.
"Sebelumnya saya mengajar di sekolah umum. Sungguh sangat berbeda mengajar di SLB. Di sekolah ini saya menggali dan menemukan pengalaman baru, karena bertemu dengan peserta didik yang keadaannya 'luar biasa', artinya lain daripada yang lain untuk dididik dan diajari pengetahuan."
Tapi saya bersyukur bisa berada di SLB ini, karena mengajarnya bisa santai, tapi terkadang juga emosi kita meningkat menghadapi siswa. Tapi itu masih bisa diredam selama ini.
"Saya merasa bersyukur dapat melanjutkan lagi aktifitas sebagai pendidik di SLB yang pernah vakum karena sesuatu hal," lanjutnya.
Sementara itu Alfiani, S.E. (Wakasek Kesiswaan) menuturkan bahwa mengajar anak berkebutuhan khusus bukanlah perkara mudah. "Diperlukan pendidikan dan keterampilan khusus untuk menangani para penyandang disabilitas."
Diperlukan kesabaran, ketulusan dan kasih sayang. Puncak kepuasan kita sebagai guru adalah ketika bisa melihat mereka bisa mandiri beraktifitas.
"Saya tidak berijazah PLB. Komunikasi dengan mereka terhambat. Perlu waktu untuk memahami keinginan dan maksud mereka ketika mereka berbicara dengan cara mereka sendiri." pungkas Alfiani.
Mereka adalah guru-guru yang luar biasa.
Penyunting: Gus Mus